Kemarin saya menonton film tahun 2013, tentang seorang pelaut –err, bisa dikatakan begitu—yang sepertinya tersesat dan akhirnya harus bertahan hidup di lautan lepas samudera Hindia. Sudah tahu film apa yang saya tonton? ALL IS LOST. Itu judulnya, benar-benar film yang menguji kemampuan berakting pemerannya, betapa tidak? kita hanya akan menyaksikan satu orang saja selama 1 jam 40 menit. Membosankan? buat saya tidak, All Is Lost yang diperankan oleh Robert Redford ini menurut saya berhasil menata letak ketegangan, keindahan dan konflik-konflik yang ada menjadi tontonan yang menarik dan tidak membosankan. Buat para penggemar komedi mungkin memang ‘sangat’ membosankan, hehe… Sutradara All Is Lost adalah Chandor yang kita kenal sukses menyutradarai juga menulis naskah di film Margin Call (2011). Melalui Margin Call pula, Chandor berhasil masuk nominasi di ajang bergengsi Oscar 2012 untuk kategori Best Writing.
Tidak dipungkiri, Margin Call memang karya yang bagus dengan kerumitan plot penuh intrik finansial. Film ini bertutur secara lancar dan intens namun tidak pernah melupakan sisi humanisnya. Tak ayal kalau ekspetasi terhadap All Is Lost sedemikian tingginya. Saking tingginya Tomattometer film ini mencapai 93% ( prosentase menurut Rottentomatoes.com), tinggi kan?!
Sinopsis
Pria tua tanpa nama –sebut saja Old Man—(Robert Redford) ini menyampaikan sebuah pesan berisikan betapa ia telah mencoba semaksimal mungkin untuk menjadi kuat dan bertahan hidup, namun pada akhirnya semua hilang. Old Man baru saja mengalami sebuah peristiwa menakutkan, dimana selama delapan hari ia terombang-ambing seorang diri di luasnya samudera hindia ketika sedang berlayar menggunakan yacht pribadi.
Tidak sesederhana itu karena disaat bangun pagi ia telah menemukan aliran air yang masuk kedalam kabin kapalnya. Penyebab dari robekan di lambung kapal itu adalah sebuah peti kemas yang sepertinya jatuh dari kapal barang dan tidak sengaja menabrak lambung kapal Old Man, yang dengan akal yang ia miliki berhasil diatasi dengan mudah oleh Old Man. Yang menjadi masalah utama adalah peristiwa tersebut merupakan awal dari berbagai rintangan yang telah menanti Old Man, membawa ia masuk kedalam pertarungan antara manusia dan alam, dari navigasi, sistem komunikasi, hingga hanya mengandalkan naluri.
Selama saya menonton film ini, seingat saya hanya ada 3-4 kalimat yang diucapkan. Akting Redford di usianya yg senja ini masih sangat memukau. Redford dianggap mampu menunjukkan emosinya walau tanpa bantuan kata-kata. All Is Lost sudah pernah ditayangkan di berbagai festival film. Sebut saja Cannes, Melbourne International, dan Deavville American. All Is Lost adalah sebuah kemasan mentah yang terasa nikmat. Film ini tidak mencoba untuk keluar dari formula film tipe serupa layaknya Cast Away, 127 Hours, Life of Pi, hingga Gravity, namun hal utama yang menyebabkan ia terasa seperti sebuah kemasan segar ditahun ini adalah keputusan J. C. Chandor untuk mengurung karakter utama seutuhnya. Ya, seutuhnya, sejak awal hingga akhir kita hanya disuguhkan upaya bertahan hidup dari seorang pria tua, yang di titik awal sudah memberikan sebuah clue, tanpa ditemani karakter lain. Tidak ada ancaman seperti Richard Parker di Life of Pie, atau hiburan kecil seperti yang diberikan oleh Mr. Clooney di Gravity, penonton hanya dilemparkan sebuah objek observasi tunggal dengan dialog yang bisa dihitung jari.
All Is Lost benar-benar film yang memuaskan dan sangat direkomendasikan untuk para penikmat film sejenis seperti Cast Away, 127 Hours, Life of Pi, hingga Gravity. Ini adalah film yang sangat menuntut penontonnya untuk melakukan investasi emosi bersama karakter, karena kepuasan utama bersumber dari sana. Segmented.
0 Response to "Sinopsis dan Review All Is Lost (2013) Kisah di Lautan"
Post a Comment